Membagi waktu antara karier dan anak bisa menjadi dilema
bagi wanita karier. Sulit untuk bisa menjalani keduanya dengan
sempurna. Lantas manakah yang harus dikorbankan?
Studi terbaru menunjukkan karier wanita terbilang melambat ketika telah
memiliki anak. Namun, di balik itu, sebagian wanita justru merasa mampu
menemukan potensi dirinya dan memutuskan untuk mantap berwirausaha.
Memiliki buah hati merupakan anugerah terbesar yang diberikan
Tuhan.Namun, tentunya kehadiran sang anak bukan tanpa konsekuensi,justru
sebagai bagian dari komitmen bunda untuk mencurahkan perhatian dan
kasih sayang kepadanya.
Masalahnya, kewajiban ini sering kali terganjal karier. Hal ini seperti
dua sisi mata uang, satu pihak sang ibu ingin mengasuh si anak dengan
sebaik mungkin,tapi di sisi lain ia tidak bisa meninggalkan karier yang
telah dibangunnya.
Karena itu,ada kecenderungan produktivitas ibu menjadi menurun seiring
kelahiran buah hati.Akibatnya, prestasi pun menjadi melempem dan karier
pun jadi tidak berkembang. Setidaknya hal itu diungkap Accenture dalam
riset teranyarnya, “The Path Forward”. Dalam riset yang melibatkan 3.900
responden eksekutif bisnis pria dan wanita ini, mereka menemukan
indikasi bahwa karier para eksekutif perempuan melambat ketika memiliki
anak.
Riset yang dilakukan di berbagai industri di 31 negara ini mengungkapkan
bahwa 55% eksekutif di Indonesia kariernya melambat semenjak memiliki
anak. Hanya 20% dari mereka yang menganggap karier tak berdampak negatif
bagi kehidupan keluarga.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia semakin berperan
penting dalam bisnis. Namun, tantangan masih tetap ada, yaitu
mendapatkan kesempatan yang sama dengan rekan pria,”sebut Executive
Director Accenture Indonesia Neneng Goenandi.
Melambatnya karier setelah memiliki anak dirasakan sendiri oleh
Novelia.Beberapa waktu lalu dia baru saja menyelesaikan cuti
melahirkan.Wanita yang bekerja di media cetak ini mengaku,karier yang
dibangunnya sejak 3 tahun belakangan mendadak menjadi sedikit terhambat.
Sebagai contoh,ia kini selalu menolak undangan liputan baik di dalam
maupun luar negeri, termasuk berbagai tawaran liputan yang
diselenggarakan pada malam hari, pasti selalu dilewatinya.
“Kasihan anak kalau ditinggal nginep,kalau ada liputan malam juga aku
enggak bisa datang karena harus nidurin anak,” tutur Novelia.
Alhasil,berbagai kesempatan bagus pun sering ia lewati, sebut saja
pengalaman bertandang ke negeri orang dan bertemu berbagai tokoh.
Namun,ia tetap merasa pengalaman itu tidak sebanding dengan keharusan
meninggalkan anak tercinta.
Bahkan,Novelia berani menolak tawaran menggiurkan untuk mengisi posisi
redaktur. Lagi-lagi anak yang menjadi alasan. Menurut dia,menempati
posisi tersebut dibutuhkan dedikasi tinggi,sementara perhatiannya kini
terbagi antara anak dan pekerjaan. Tidak beda dengan cerita Mirna.Ibu
yang memiliki putri berusia dua tahun ini juga menolak mentahmentah
permintaan atasannya untuk menggantikan posisi manajer.
Mirna yang berprofesi sebagai pengajar di sebuah lembaga pendidikan
bahasa Inggris ini, sebelum menikah amat berambisi mencapai jenjang
karier yang ditargetkannya. Keadaan berubah 180 derajat ketika ia telah
memiliki Mazaya, putrinya.
“Dulu setiap tahun pasti ada target yang harus dicapai untuk ngejar
karier, pokoknya harus bisa tercapai.Tapi, sekarang sejak punya anak
malah jadi enggak ngoyo.Jadi,manajer tidak mudah, kalau belum punya anak
pasti saya ambil (jabatan manajer).Tapi, sekarang biarlah yang
lain.Saya malah bisa lebih santai ngurus anak, tapi karier tetap
jalan,”tuturnya.
Psikolog A Kasandra Putranto mengatakan,hingga kini masih banyak wanita
yang terjebak dalam konteks berkarier.Mereka masih beranggapan karier
itu adalah sesuatu yang dibangun dengan bekerja menjadi karyawan di
perusahaan.
“Padahal,ibu yang berwirausaha kecil-kecilan di rumah itu juga terhitung
berkarier,”katanya kepada SINDO. Justru ibu rumah tangga yang
menjalankan bisnis sendiri bisa dengan bebasnya mengatur waktu sendiri
dan tidak meninggalkan kewajiban mengurus rumah tangga.
“Memang ketika habis melahirkan,karier wanita sempat melambat karena
harus menyusui. Tapi kan tidak lama.Setelah itu,dia bisa membangun
kariernya lagi. Bahkan,ada yang bisa menemukan potensi dirinya dan
mencari peluang bisnis dari situ,”ujar Humas Ikatan Psikologi Klinis
ini.Maksudnya, sebutlah wanita tersebut bisa menjahit,bukan tak mungkin
ia menekuni kemampuannya dan menjadikan sebagai ladang bisnis.
Apalagi jika usaha tersebut mumpuni dan mampu merekrut pekerja,tentu
jauh lebih bermanfaat. Sayangnya,wanita yang berpikir ke arah situ
relatif masih sedikit sehingga mereka cenderung berfokus pada karier di
perusahaan tempatnya bekerja.Kasandra mengaku mengalami hal yang
sama.Dia sempat ngambek kepada suami lantaran diminta berhenti bekerja
karena sudah melahirkan anak kedua. Namun,mengurus anak bukan berarti ia
total berdiam diri di rumah.
Sebaliknya,psikolog yang sempat bekerja di hotel kenamaan ini mengurus
izin praktik psikologinya hingga akhirnya membuka tempat praktik
sendiri.Dari situlah kariernya berkembang sampai akhirnya ia tergabung
dalam himpunan pengusaha muda Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar